POETRY-PERFORMANCE ART'S EVENT

POETRY-PERFORMANCE ART'S EVENT
exhibition-poems-workshop-performance-discussion
Acara ini terbuka untuk umum, siapa pun. Silakan menonton & simak acara ini.
Jika kamu seorang penyair atau dan sekaligus performance artist, kamu boleh gabung bersama kami tampil di acara ini!
[no-charge/acara ini tidak memungut bayaran apa pun dari kamu untuk berpartisipasi dalam acara ini]
C u there!

4.9.10

Menggambar Kata-Kata : antara Reka dan Raga

www.bentarabudaya.com

Workshop: 1st day, presented by Atieq SS Listyowati [performance artist] & Okty Budiati [performer]


Rangkaian Program         
  
Acara: 
1. Exhibisi Foto & Puisi  | Seminar/ Diskusi/ Workshop 3 hari  |  Performance
  • ·         Open Mike [baca puisi/ prosa]  Bersama para penyair dan pembaca puisi
  • ·         Seni Performa      Bersama para performance artist lokal & internasional
  •  

WORKSHOP [18/10, 3-5pm]

Aph-o-rism Project : Ruang Hening dalam Kata dan Performa

Atieq SS Listyowati
Keheningan

    “Ketika Anda hening, Anda adalah diri Anda melampaui keberadaan   sementara Anda: kesadaran –yang tidak terkondisi, tidak berbentuk, yang    abadi.” [Eckhart Tolle: A New Earth / 2006; 281]

Semenjak jiwa hidup dan tumbuh dalam tubuh manusia, keberadaannya selalu menyertakan pikiran untuk berpikir dan senantiasa menafsirkan berbagai hal yang lalu lalang di depan dan sekitarnya.

Pikiran pun menyertakan bahasa di dalam mengartikulasikan pikirannya tersebut. Bahasa menyertakan sederetan kalimat dan kata di dalamnya, apa pun bentuknya. Kata-kata adalah terminal dari kumpulan pikiran yang tersimpan dalam struktur batin [komponen semantis] dan kemudian ditransformasikan menuju struktur lahir [komponen fonologis](3).

Struktur lahir ini dapat berupa manner, yang tak hanya melahirkan ungkapan fonologis, namun juga berupa aksi fisik. Hal ini diawali oleh aktivitas berpikir di lapisan performatif dalam struktur logika.

Aph-o-rism Project adalah sebuah program observasi atas pilihan kata-kata bijak yang digunakan sebagai judul karya seni dan yang dimaksudkan sebagai pilihan atau mengandung filosofi kebijakan dalam hidup.

Hal ini sehubungan dengan kecenderungan manusia dalam memandang sesuatu selalu berada di titik perspektif tertentu, tergantung pada situasi dan kondisi yang menyertainya [kerangka referensi & bidang pengalaman]. Sehingga setiap pikiran yang hadir disadari atau tidak senantiasa melibatkan doktrin filsafati tertentu. Antara lain empirisme, materialisme, pragmatism, skeptisisme dll. Doktrin ini yang menggerakkan rasionalitas dalam lingkungannya masing-masing. Implikasi yang tidak disadari ini dapat menjaring pikiran manusia ke dalam eklektisisme dan terjerat pada kesimpangsiuran filosofi tertentu yang tidak konsisten.

Apabila doktrin filsafati tersebut dapat diidentifikasikan serta diartikulasikan, maka kemungkinan implikasi epistemologisnya berikut konsekuensi logisnya juga diketahui dan dapat diperhitungkan(4) .

Namun, tak jarang pula banyak orang tanpa disertai pembekalan diri --berupa kritik ideologi-- umumnya tidak mampu melampaui doktrin-doktrin tersebut --yang nota bene diperlakukan sebagai dogmatisme. Kritik ini sebetulnya merupakan kerangka dasar konstruksi serta legitimasi realitas kehidupan dari mana segala sesuatunya ditafsirkan, disimpulkan dan dirumuskan. Tragisnya, manusia pun jadi ‘lupa diri’ atas keberadaannya [eksistensi diri]. Berpikir pun dikonsepsikan sebagai strategi ‘penguasaan’. Menjadi sangat ramai dengan berbagai doktrin yang telah di’benda’kan. Dunia artifisial [bukan yang sesungguhnya] mendominasi seluruh persepsi manusia. Tidak ada lagi ruang diskursif dalam pikiran manusia. Tak ada lagi ruang hening dalam diri manusia.

Meski begitu, tak ada opsi lain. Manusia harus senantiasa menafsirkan [membuat interpretasi] karena mau tidak mau ia selalu berada dalam konteks yang terus berubah. Menafsirkan adalah hakekat transendensi manusia dalam menghadapi sekaligus menghindari bahaya imanensi [ketenggelaman, kebekuan] eksistensinya. Manusia harus menafsirkan dirinya, dunianya, kebudayaannya, menafsirkan tradisinya, kehidupannya sehari-hari(4).

Dalam dunia seni performa, kata-kata menjadi pilihan penting dalam judul setiap performa. Karena ternyata, ketika kata secara bijak dipilih, maka yang terjadi adalah interpretasi yang menderetkan rentetan panjang narasi bagi setiap audiensnya bahkan bagi si pelaku performa itu sendiri. Ada semiotika.

Unsur yang permanen dalam diri manusia yang menyangkut unsur kebentukan seni adalah kesadaran estetiknya. Kesadarannyalah yang statis. Sedang yang berubah-ubah ialah interpretasi yang diberikan orang terhadap bentuk-bentuk seni [ekspresif] apabila hal itu menyangkut perasaannya langsung. Emosi tertentu yang terpimpin merupakan ‘the will to form’ [kehendak untuk membentuk]. Tak hanya intuitif, namun ber’ekspresi’ dapat pula dicapai melalui aturan-aturan yang ketat[6]. Ada kaidah [baca: konsep] di dalamnya.

‘Kata’ sebagai bentuk, ia bersifat universal, namun sebagai ekspresi ia bersifat temporer.

Kata-kata bahkan menjadi suatu metode dalam psikoanalisis mengenai jiwa [psike] manusia yang sepenuhnya berbentuk interogasi yang berdasar pada tindakan mendengarkan kata-kata. Sigmund Freud menjadikan mimpi, fantasme dan mite sebagai bahan dasar di mana ketiga hal tersebut adalah unsur dalam sastra. Ada bahasa dan imajinasi[5].

Ketika kata bertransformasi menjadi performa, ia mengundang jutaan makna melalui pintu-pintu lebar dan jendela-jendela besar di seluruh ruang --dalam diri manusia, baik si pelaku mau pun audiens.

Kenisbian [relativitas] dari apa yang dapat dianggap sosial atau a-sosial, normal atau abnormal, terlihat dalam sorotan cahaya yang baru(2).

Silent Steps
Have you not heard his silent steps? He comes, comes, ever comes. Every moment and every age, every day and every night he comes, comes, ever comes. Many a song have I sung in many a mood of mind, but all their notes have always proclaimed,
`He comes, comes, ever comes.' In the fragrant days of sunny April through the forest path he comes, comes, ever comes. In the rainy gloom of July nights on the thundering chariot of clouds he comes, comes, ever comes. In sorrow after sorrow it is his steps that press upon my heart, and it is the golden touch of his feet that makes my joy to shine. [Gitanjali – Rabindranath Tagore]
---
   

Daftar Pustaka:

1.       Eckhart Tolle, A New Earth, 2006
2.        Franz Boas, Pola2 Kebudayaan oleh Ruth Benedict, 1966
3.        Soenjono Dardjowidjojo, Linguistik: Teori & Terapan, 1987
4.        Dr. W. Poespoprodjo, L.Ph.,S.S., Interpretasi, 1987
5.        Max Milner, Freud dan Interpretasi Sastra, 1992
6.        Soedarso SP, Pengertian Seni – Herbert Read, 1959

______________________________________

Sebuah Langkah Keterbelahan Diri
Silence in ODc Psychosomatic Project

Okty Budiati


I. Lahirnya Kegelisahan

“Imagine a group of people who have come together to socialize. The conversation is in full swing, lively, almost out of control. One person can hardly wait to have his say till the other is through with his, and everybody takes part more or less actively as in a debate”. (Soren Kierkegaard)


Manusia sebagai mahluk yang mendua telah menjadi bahan penelitian sekaligus melakukan eksplorasi atas kompleksitasnya dalam eksistensi mereka sejak munculnya sebuah peradaban yang pada akhirnya pergerakan dan perubahan tersebut sangat berkaitan erat dengan kebudayaan dalam keseharian mereka. Saat ini, di Indonesia, yang manusianya (masyarakat) masih mengalami proses beradaptasi antara global-lokal pun mengalami konflik untuk memahami diri sendiri di mana kenyataannya mereka masih terlalu dini saat bersentuhan dengan keseharian yang modern sebagai sebuah konsep kebudayaan dalam kesehariannya.

Kecenderungan ini mengakibatkan manusia itu mengalami keterasingan pada diri sendiri dengan mereka sadari atau tidak sadari. Keterasingan ini pun berkembang menjadi puncak kejenuhan akan rutinitas pada keseharian mereka. Hingga seakan-akan, menyepi untuk mendapatkan ruang hening menjadi harapan. Bagi saya, di sanalah letak konflik manusia saat ini; anxiety (kegelisahan).

Ketimpangan dalam tingkatan sosial yang ada pun tidak mampu merangkul manusia dengan manusia lain untuk saling bekerja sama kecuali adanya satu kesetaraan semu yang telah dibentuk oleh kekuasaan yang berlaku. Sehingga manusia yang hidup dalam tatanan yang rapi dengan mengikuti segala aturannya menjadi cenderung kaku, jika boleh saya katakana; sebenarnya mereka telah kehilangan hasrat hidup untuk hidup dengan hidup itu sendiri. Dan manusia pun bermunculan menjadi seorang performer yang sangat handal dalam memanipulasi peran yang sedang dan akan dimainkannya, yang tentu saja tidak lain adalah penghancuran bagi diri sendiri, bahkan manusia di sekitarnya! Terselimuti oleh etika dan moralitas yang baku, kesadaran yang muncul pun menjadi kesadaran yang bukan kesadaran. Dalam hal ini (sebenarnya, ya!) saya menyangkal segala aturan yang berlaku pada tatanan doktrin agama, hukum negara, bahkan budaya dengan segala teori yang berlaku, seperti yang dikatakan oleh Friederich Nietzsche: ‘Pengetahuan demi pengetahuan itu sendiri’ – ini adalah perangkap terakhir yang dipasang oleh moralitas, menjerat kita sepenuhnya sekali lagi’.

Bagi saya, sejak manusia memasuki usia lima tahun di mana mulai beradaptasi dengan lingkungan sosial dan pendidikan sekolah, mereka sebagai manusia berangsur-angsur hilang. Sehingga manusia muncul hanya dengan kemanusiaannya saja, dan tentu keadaan ini tidak lain hanyalah kesemuan juga membodohkan. Suatu pandangan yang sangat menyesatkan. Karena mereka telah kehilangan hasrat dan keyakinannya akan insting dan intuisi pada diri sendiri. Nalar dan kesadaran kita selama bertahun-tahun dilatih dan ditata hingga membentuk satu karakter. Manusia dengan tubuhnya menjadi instrument (media) bagi kekuasaan, bisa saja; lingkungan dalam keluarga, lingkungan sosial, atau tatanan negara. Dalam hal ini, mungkinkah kesepakatan itu telah benar-benar kita sepakati sebagai panduan hidup atau kita hanya robot-robot yang sedang berbaris sangat rapi menuju ruang jagal.

Akan menjadi perhatian saya selanjutnya; di manakah letak kesepakatan pribadi? Bisakah kesepakatan pribadi berlaku? Paling tidak untuk diri sendiri. Dan yang paling mendasar, apa sebenarnya kesadaran dan kebenaran? Pendeknya, mampukah kita menjadi manusia dengan jiwa bebas? Bahkan jika keterasingan adalah sahabat kita, jadikan itu sebagai hasrat hidup! Sebagai pengikat hati kita untuk tetap menjadi manusia bebas. Di sini keberanian menjadi cambuk yang sangat keji sekaligus melenakan. Karena itu manusia harus menjadikan dirinya sebagai subjek sekaligus objek atas pengalaman-pengalamannya hingga mampu mencapai tingkat kesadaran itu sendiri.

Bagaimana pun manusia tidak akan mampu terhindar dari segala tatanan yang telah ada. Bisa dikatakan; bahasa, kata-kata, tata kalimat, bahkan hingga tata jiwa telah tertata rapi sejak kelahiran hingga kematian. Sehingga segala hal yang berlaku di dalam keseharian menjadi dilema yang tidak dapat dihindari dan sudah seharusnya tidak boleh dihindari, kecuali kita memilih menjadi pengecut! Kecenderungan manusia pada saat ini adalah melakukan pengasingan diri di ruang-ruang yang terisolasi dari perkumpulan bahkan ada yang menyepi dan hidup di hutan. Alam seakan-akan menjadikannya hidup damai dan terhindar dari kebisingan. Tapi sampai kapan mereka mampu bertahan terutama bagi para manusia mega kota? Mungkin saja kedamaian hadir dalam inderawi sebagai penyejuk tapi dapat dihitung dengan jari jika keadaan itu bukanlah obat yang mujarab. Karena akan muncul sebuah gelisah yang sesungguhnya; kebisingan pikiran. Bagaimana pun, kepala (pikiran) kita bukanlah sebuah rel kereta api melainkan jaringan skizoprenik. Jadi, bunuhlah pikiran sebelum pikiran membunuhmu!


II. Ritus Ketelanjangan Diri

“Betapa anehnya penyederhanaan dan pemalsuan kehidupan manusia! Sekali kita mengarahkan mata pada keajaiban ini, maka kita akan dibuat terkagum-kagum selamanya! Lihat bagaimana kita membuat segala sesuatu menjadi cerah, bebas, bersinar dan sederhana!” (Friedrich Nietzsche)


Manusia modern lebih cenderung berproses dalam keinstantan dengan mencari pengobatan dan hingga pengampunan dari manusia lain (sesuatu yang diluar dirinya). Sedangkan pengobatan dan pengampunan itu sebenarnya hanya hadir dalam diri sendiri, dan jiwa kitalah yang hanya mampu menemukan solusinya. Dengan melihat, membaca, merasakan secara langsung secara detail tentang perasaan-perasaan sedih, pedih, senang, keputusasaan, ketidakpastian, hingga kematian akan membawa kita untuk benar-benar menghargai hidup yang kompleks. Kesadaran pun akan muncul dengan sendirinya, dan bahwa manusia hanyalah sekumpulan hewan yang memakai kostum dan berjalan tegak. Dalam contoh subjek di atas ini, memahami psikologi manusia menjadi sebuah proses dalam keseharian manusia itu sendiri adalah mutlak.

Persoalan hidup manusia memang selalu dan akan terjadi dalam jalan panjang kehidupannya. Penderitaan dan tekanan psikis seringkali muncul mengiringi masalah tersebut. Kompleksitas ini pada akhirnya menjadi pangkal penderitaan. Derita yang gejalanya diawali dari ketidakmampuan pikiran mengendalikan persoalan tersebut. Kemudian muncul dalam bentuk kemarahan, kegelisahan, perasaan bersalah, hingga depresi. Bahkan dalam hal-hal tertentu dapat menjadi penderitaan fisik. Dari kalangan psikologi menyebut trauma yang disebabkan oleh proses derita mental ini disebut sebagai Psychosomatic Illness.

Dalam penutup tulisan ini, saya katakan, manusia tidak akan dapat menemukan ruang heningnya jika manusia itu sendiri belum berani mengakui keberadaan dirinya sendiri dan menelanjangi kebinatangannya yang melekat pada dirinya sendiri. Karena hening muncul bukan dari sebuah tempat, tapi hening hadir dalam ruang dan waktu yang sedang kita jalani dalam keseharian kita. Begitulah seharusnya para performer; aktor-aktris mau pun penari, pemusik-penyanyi  memaknai proses yang mereka lakoni. Bukan proses yang bertujuan untuk menjadi. Tapi ini sebuah proses yang bergerak bersamaan dengan menjadikan nafas dalam hidup kita, dan kita menjadi tidak terasing dengan peran yang sedang kita lakoni. Dan seni bukanlah sesuatu yang berkembang dari teori yang matematis kemudian karya tercipta dengan sendirinya dari keteraturan dan menjadi fenomenal. Teori adalah musuh terbesar bagi proses penciptaan karya seni itu sendiri. Seni (gerak) adalah sesuatu yang hidup, dia bergerak bersama dengan nafas yang kita miliki. Jika kita tidak mampu melakukan penghancuran bagi segala teori, janganlah berani mengatakan: kita hidup untuk seni! Seni merupakan cinta, sebuah anugrah yang penuh gairah, seni muncul dalam kesenangan sekaligus penderitaan. Dan teori hanya akan menjadi penjara bagi hasrat-hasrat tersebut. Selamat berjuang!
---
Pustaka:
Charles E. Moore. (2002) Provocations, Spiritual Writings of Kierkegaard. www.bruderhof.com
Basuki Heri Winarno. (2002) Friedrich Nietzsche; Beyond Good and Evil, Prelude Menuju Filsafat Masa Depan. Ikon Teralitera, Yogyakarta.

Biografi Penulis
Okty Budiati, lahir di Jakarta 13 Oktober 1977. Okty sebagai penari sekaligus koreografer mulai memutuskan untuk mengembangkan seni tarinya dengan melakukan penelitian yang berangkat pada anatomi tubuh dan psikologi, yang disebut: ODc Psychosomatic Project. Okty juga mengajar teknik Ballet, teknik Modern Dance, hingga Body Movement, di antaranya di kelompok-kelompok teater di Yogyakarta, Surakarta, dan saat ini di Jakarta. Okty pun menulis beberapa artikel tentang seni pertunjukan tari, di antaranya; Tari Sebagai Media Komunikasi yang dimuat di Sinar Harapan, tahun 2009.


Tema
Bising

Tempat
Bentara Budaya Jakarta, Jl. Palmerah Selatan 17 - Jakarta

Waktu
18-19-20 Oktober 2010 [Senin-Selasa-Rabu]
     
Kegiatan
  • 1.  Exhibisi Foto & Puisi
·                                        Opening 18 Oktober 2010 | 19.00 WIB
  • 2.  Seminar/ Workshop 3 hari
·                                       18-20 Oktober 2010 
·                                15.00-17.00

18/10 Senin
15.00-16.00 : 

 "Aph-o-rism Project : Ruang Hening dalam Kata & Performa" - Atieq SS Listyowati
16.00-17.00 : 

 "Silence in ODc. Psychosomatic" - Okty Budiati 
19/10 Selasa
15.00-17.00 : Sharing Forum - Presentasi Para Peserta Workshop 
20/10 Rabu
15.00-17.00 : Sharing Forum - Presentasi Para Peserta Workshop


  • 3.  Performance
    • Open Mike & Performance Art 
·                                       18-20 Oktober 2010
·                                17.00-21.00


Tujuan
  •   Mengembangkan wacana dan studi sejarah keberadaan seni di Asia demi perluasan wawasan budaya dengan keberadaan berbagai perspektif yang berbeda, antara tradisi dan kontemporer hingga perkembangan terkini melalui komparasi seni di negara-negara se-Asia;
    • Meningkatkan kesadaran atas keberadaan ruang tak bertepi dalam kreativitas manusia sebagai sumber pengetahuan sekaligus refleksi kehidupan, serta kesenian agar menjadi oase dalam proses peradaban sekaligus kemampuan berpengetahuan melalui data faktual;
    • Memberikan kontribusi pemikiran dan menumbuhkan sikap positif, toleransi dan pemahaman solidaritas dalam konteks global dan universal, vertikal dan horizontal di berbagai pihak melalui berbagai sharing forum dan networking di tataran internasional guna kebaikan bersama;



Uraian
Kata-kata merupakan media paling tua untuk menjabarkan berbagai detil ungkapan pikiran, rasa dan karsa manusia. Namun keberadaannya hingga kini menjadi hal yang selalu menakjubkan untuk diperbincangkan.

Berbagai hal dalam setiap aspek kehidupan manusia baik dalam lingkup kosmos ini dimediasi oleh kata-kata. Baik kata-kata yang terujar dan tertera mau pun yang tertangkap melalui batu-batu prasasti, artefak dan manuskrip yang kemudian terangkum dalam berbagai kitab suci mau pun karya-karya ilmiah dan kumpulan teori-teori indah Socrates dan lain sebagainya. Semuanya itu menggugah manusia lainnya, di masa itu hingga kini yang melahirkan inspirasi-inspirasi baru yang tak bertepi dan tak berkesudahan.

Setiap kata mengandung masing-masing makna, semiotika, berupa gambaran atas sesuatu, reka bentuk atas hal tertentu. Maka kata memiliki gambarnya tersendiri. Sehingga ketika membaca gambar, yang terlahir adalah kata-kata. Bahkan kata-kata merupakan tubuh atau wadah bagi setiap benda. Raga merepresentasikan berbagai ungkap dan reaksi pikiran, rasa dan karsa manusia.

Tak hanya olah kata dalam bait-bait puisi, namun juga ketika gambar sanggup menyimpan jutaan kata-kata, kata-kata menjadi kunci ampuh bagi setiap orang berkehidupan [termasuk tubuh manusia]. Seni performa adalah salah satunya. Semuanya saling bermetamorfosa.

Apresiasi Kata, Performa dan Makna merupakan salah satu program edukatif, apresiatif di samping fungsinya yang menghibur di tataran seni / dunia estetika. Acara yang dikoordinasi oleh AppreRoom ini akan menjadi sumbangsih yang bermanfaat bagi khasanah pengetahuan siapa saja melalui dukungan Bentara Budaya Jakarta, tentunya.


---


Drawing Words: between Visual and Body
 
Related Programs

Events:
 
1. Photos & Poetry exhibition· Works artist / photographer of local & international.
2. Seminar / Discussion / Workshop 3 days [indoor & outdoors] 
· "Words Appreciation, Performance and Meaning"
   
Together with the senior international performance artist
3. Performance
    
* · Open Mike [read poetry / prose]
· Together the poets and poetry readers of the local & international | Discussion
    
* · Performance Art
· With the local and international performance artist | · Discussions

Theme: Noise

Venue : Bentara Budaya Jakarta, Jl. Palmerah Selatan 17 - Jakarta 

Time : 18-19-20 October 2010 [Monday-Tuesday-Wednesday]
     
 

Activity

    
* 1. Photos & Poetry exhibition
· Opening October 18, 2010 | 7pm

    
* 2. Seminar / Workshop 3 days
· 18-20 October 2010· 3 p.m. to 5 p.m.




18/10 Monday
15.00-16.00 : "Aph-o-rism Project : Silence Space in Words & Performa" by Atieq SS Listyowati
16.00-17.00 :"Silence in ODc. Psychosomatic" by Okty Budiati
19/10 Tuesday
15.00-17.00 : Sharing Forum/presentation by workshop's participants
20/10 Wednesday
15.00-17.00 : Sharing Forum/presentation by workshop's participants
     

    * 3. Performance
          
o Open Mike & Performance Art
· 18-20 October 2010· 5 p.m. to9 p.m.



Objectives:
  • Develop the existence of discourse and study art history in Asia for expansion of cultural insights with the existence of different perspectives, between tradition and contemporary to the latest developments through a comparison of art in all countries of Asia;
  • Increase awareness of the existence of endless space in human creativity as a source of knowledge as well as a reflection of life, and art in order to become an oasis in the process of civilization as well as the ability of knowledge through factual data;
  • To contribute ideas and cultivate a positive attitude, tolerance and understanding in the context of global solidarity and universal, vertical and horizontal in the various parties through sharing and networking forum in the international community for the common good;


Description: 

The words are the oldest media to describe various details of the expression of thought, feeling, and intention of human. But its existence until now the thing that is always amazing to be discussed.
 
Various things in every aspect of human life both in the scope of the cosmos may be mediated by the words. Both words are listed stated and will even get caught by the stones inscriptions, artifacts and manuscripts are then summarized in the various scriptures like any scientific works and a collection of beautiful theories of Socrates and others. Overall it was evocative of other human beings, at that time until now the birth of new inspirations are endless and interminable.
 
Each word contains each meaning, semiotics, a picture of something, they form over a particular matter. So the word has its own image. So when reading images, which are born are the words. Even the words of a body or container for each object. Raga and represent a variety of reactions expressed thoughts, feeling and intention of human.
 
Not only were the words in the verses of poetry, but also when the picture could save millions of words, words become a powerful key to everyone in life [including the human body]. Performance art is one of them. Everything is metamorphosed to each other.



Words Appreciation, Performance and Meaning is one of the educational program, in addition to its function appreciative of entertaining at the level of art / aesthetic world. The event is coordinated by AppreRoom. This would be a useful contribution to the repertoire of knowledge through the support of anyone and Bentara Budaya Jakarta.